Home » » Hakikat Pendidikan Inklusif

Hakikat Pendidikan Inklusif

Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) memiliki hak yang sama dengan siswa reguler lainnya. Di samping itu, keberadaan SLB pun masih bisa dibilang terbatas dan mungkin lokasinya pun jauh dan atau sulit dijangkau ABK. Jadi, untuk menjawab permasalahan tersebut, sekolah inklusif menjadi salah satu alternatif terbaik untuk melayani PDBK. Dengan membiasakan PDBK belajar bersama-sama dengan siswa reguler, maka dapat terjalin hubungan sosial dan melahirkan sikap empati, berkolaborasi, dan akhirnya PDBK dapat tumbuh rasa percaya diri untuk menata hidup yang lebih baik. 

Terdapat beberapa hal yang harus dipahami mengenai pendidikan inklusif, yaitu bahwa: 
  1.  Pendidikan inklusif tidak sama dengan konsep pendidikan integratif/terpadu. 
  2.  Pendidikan inklusif mepunyai makna jauh lebih luas dari pada integrasi. 
  3.  Pendidikan inklusif tidak sekedar memindahkan atau menempatkan penyandang disabilitas di sekolah reguler. 
  4.  Dalam pendidikan inklusif, anak harus diterima di sekolah tanpa syarat dan program sekolah harus menyesuaikan kebutuhan anak. Sedangkan dalam pendidikan integratif anak baru dapat diterima di sekolah jika anak dapat menyesuaikan proram yang ada di sekolah. 
Pendidikan Inklusif
A. Pengertian Pendidikan Inklusif 
Definisi Pendidikan Inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra pada tahun 1998 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara merumusakan poin-poin sebagai berikut. 
  1. Pendidikan inklusif lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal. 
  2. Penddidikan inklusif mengakui bahwa semua anak dapat belajar. 
  3. Penddidikan inklusif memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak.  mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, gender, etnik, bahasa, status HIV/AIDS dll. 
  4. Penddidikan inklusif merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya. 
  5. Penddidikan inklusif merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif. 

Definisi berikutnya, Sapon-Shevin dan O’Neil, 1994 (Dir. Pem. SLB, 2007:5) menyatakan bahwa ‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya 

B. Landasan Filosofis Pendidikan Inklusif 
Abdulrahman dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan bahwa landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita–cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. 

Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya, sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. 

Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah dapat ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama, tetap dalam kesatuan. Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan. 

Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari. 

C. Landasan Yuridis Pendidikan Inklusif 
Landasan yuridis tentang pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa implementasi pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau yuridis yang terkait. 

Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa “Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”. 

Dalam konteks pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dasar hukum yang jelas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat (2): “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Dalam hal aksesibilitas pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. 

Pasal 32 ayat (1) ”Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa ”Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”. Pasal 45 ayat (1) ”Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”. 

D. Landasan Empiris Pendidikan Inklusif
Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman sebayanya.

Selain itu, Depdiknas (2007) mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif mendapatkan dukungan dari berbagai event atau moment, baik internasional maupun nasional. Diantaranya adalah sebagai berikut: 
  1. Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights), Tahun 1948
  2. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Tahun 1989
  3. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for All) Tahun 1990
  4. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities)
  5. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi (The Salamanca Statement on Inclusive Education) Tahun 1994
  6. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua (The Dakar Commitment on Education for All) Tahun 2000
  7. Deklarasi Bandung Tahun 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusi”
  8. Rekomendasi Bukittinggi Tahun 2005, menyatakan bahwa pendidikan inklusif dan ramah terhadap anak semestinya dipandang sebagai:
1. Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;
2. Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari programprogram untuk perkembangan anak usia dini, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
3. Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.

E. Prinsip Pendidikan Inklusif
Konsep yang paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar anak dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan dalam tiga prinsip, yaitu:
  • Setiap anak, termasuk dalam komunitas kelas atau kelompok.
  • Hari sekolah diatur sepenuhnya melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati.
  • Guru bekerjasama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas.

Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup anak berkelainan dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).

Lynch, sebagaimana disebutkan oleh Budiyanto dalam Hermansyah (2013) mengajukan tujuh prinsip menuju terwujudnya UPE (Universal Primary Education). Ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 
  1. Prinsip kesatu: Perkembangan Kebijakan, Kerangka Hukum dan Sistem Kelembagaan
  2. Prinsip kedua: Komitmen pada Filsafat Pendidikan yang Berpusat Pada Anak (Child- Centered). 
  3. Prinsip ketiga: Penekanan pada Keberhasilan dan Peningkatan Kualitas. 
  4. Prinsip keempat: Memperkuat Hubungan Antara Sistem Reguler dan Sistem Khusus. 
  5. Prinsip kelima: Komitmen untuk Berbagi Tanggung Jawab dalam Masyarakat. 
  6. Prinsip  keenam: Pengakuan oleh Para Profesional Tentang Keragaman yang Lebih Besar. 
  7. Prinsip ketujuh: Komitmen terhadap pendekatan yang holistik Prinsip holistik dan pendekatan perkembangan pada pendidikan berhubungan dengan konsep community shared responsibility.

Prinsip ketujuh (Lynch) menyatakan bahwa komitmen terhadap pendekatan yang holistik, Prinsip holistik dan pendekatan perkembangan pada pendidikan berhubungan dengan konsep community shared responsibility. Hal ini dimaksudkan bahwa tanggung jawab bersama merujuk pada hubungan sekolah dengan konteks masyarakatnya dan mengasumsikan bahwa masyarakat dan organisasi perlu bekerjasama untuk mendidik anak. Pendekatan holistik dan perkembangan didasarkan pada asumsi bahwa:
  1. Ada banyak domain dalam kehidupan anak yang berpengaruh pada performa pendidikan di sekolah.
  2. Ada banyak aspek dari perkembangan danak yang akan menentukan sejauh   mana anak akan dapat mengambil manfaat dari pendidikan.
  3. Pengaruh cacat dan kondisi hidup yang lain dapat bersifat komulatif dan perlu diberikan intervensi sedini mungkin.
  4. Guru dan profesional yang lain sama-sama bertanggung jawab untuk pemeriksaan anak dalam melihat adanya masalah nutrisi yang ada, untuk membuat referensi dan pengambilan tindakan yang tepat.
  5. Guru bertanggung jawab terhadap semua anak dan perkembangannya, bukan hanya kognitifnya saja. 
Posted by Nanang_Ajim
Mikirbae.com Updated at: 9:34 AM

0 komentar:

Post a Comment

Mohon tidak memasukan link aktif.