Karifan lokal adalah budaya dan kebiasaan baik yang diwariskan nenek moyang dari generasi ke generasi. Kearifal lokal juga merupakan nilai-nilai luhur yang beralku dalam tata kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengolah lingkungan hidup secara lestari. Kearifan lokal dapat berupa tata krama, upacara adat cara melestarikan lingkungan, cara membuat atau melakukan pekerjaan secara tradisional, dan sebagainya.
F. Adat Ma'nene di Toraja
G. Cingcowong di Jawa Barat
Ciri-ciri kearifan lokal adalah bersifat bijak dan adaptif, berakar pada nilai-nilai luhur budaya setempat, bersifat fleksibel sehingga dapat mengakomodasi unsur budaya luar, berfungsi sebagai pedoman hidup masyarakat, dan berfungsi sebagai alat kontrol sosial. Kearifan lokal secara terus menerus menjadi pedoman masyarakat dalam kehidupan agar dapat bertahan hidup dengan aman, nyaman, dan sejahtera. Berikut ini beberapa contoh kearifan lokal yang ada di masyarakat Indonesia :
A. Hutan Larangan Adat Masyarakat Riau
Budaya hutan larangan adat di Riau adalah budaya adat Rumbio yang diturunkan untuk menjaga kelestarian hutan di kawasan kabupaten Kampar. Pentingnya penerapan sistem adat dalam pemeliharaan hutan yaitu agar dapat menjaga kelestarian hutan serta makhluk hidup di dalamnya
Hutan larangan merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Riau yang melarang penduduknya menebang hutan secara liar. Kearifan lokal tersebut bertujuan untuk melestarikan hutan beserta ekosistem yang ada di dalamnya. Riau memiliki dua hutan adat yaitu hutan adat di Kabupaten Kampar. Dua hutan adat yang ada yaitu Hutan Adat Imbo Putui untuk Kenegrian Petapahan dan Hutan Adat Kenegrian Kampa.
Hutan adat merupakan hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat atau MHA. Hutan adat dapat menjamin perlindungan identitas bangsa melalui kebudayaan hutan hujan tropis, peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum adat itu sendiri, serta perlindungan hutan dan satwa flora endemik.
B. Awig-Awig di Lombok Barat dan Bali
Awig-awig berasal dari kata WIg yang artinya rusak, sedangkan awig artinya tidak rusak atau dalam keadaan baik. Awig-awig dapat diartikan sebagai sesuatu yang menjadi baik. Secara harfiah Awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang stabil di masyarakat.
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor : 3 tahun 2003 Awig-awigdan pararem adalah hukum adat Bali yang hidup dalam masyarakat yang bersumber dari Catur Dresta. Sebagai sebuah aturan adat awig-awig memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut :
- Bersifat sosial religius yang tampak dari berbagai tembang-tembang sesonggan dan pepatah petitih. Masyarakat Bali sangat percaya dan yakin bahwa awig-awig ataupun pararem tidak saja menimbulkan sangsi sekala (lahi), tetapi juga sangsi niskala (bathin)
- Bersifat konkret dan jelas, artinya hukum adat mengandung prinsip yang serba konkret, nyata, jelas, dan bersifat luwes.
- Bersifat dinamis artinya hukum adat tumbuh dan berkembang sesuai perkembangan jaman.
- Bersifat kebersamaan atau komunal artinya dalam hukum adat Bali tidak mengenal hukum menang kalah.
- Bersifat tidak seperti hukum nasional yang jarang mengakomodir dimensi sosiologis.
C. Mekare-Kare di Bali
Mekare-kare (Upacara Perang Pandan) adalah upacara persembahan yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra (dewa perang) juga para leluhur. Perang Pandan atau mekare-kare diadakan tiap tahun bulan Juni di Desa Tenganan, desa ini masuk salah satu desa tua di Bali dan desa ini disebut Bali Aga.
Tradisi mekare-kare dilakukan oleh para lelaki di Desa Tenganan Pegringsingan sebagai persembahan untuk Dewa Indra. Para lelaki mempertunjukkan perang dengan menggunakan daun pandan serta perisai rotan untuk menahan serangan lawan. Mekare-kare merupakan bagian dari tradisi sasih sembah. Tujuandari pelaksanaan mekare-kare adalah untuk persembahan kepada Dewa Perang yang berperang melawan Maya Denawa yang bersikap semena-mena.
D. Bebie
Bebie merupakan kegiatan menanam dan memanen padi secara bersama-sama di wilayah Muara Enim, Sumatera Selatan. Secara harfiah Bebie atau Bebehas dimaknai sebagai kegiatan mengumpulkan beras. Tradisi bebehas dilakuan saat sebuah kelauarga akan melaksanakan hajatan pernikahan atau ngantenan.
Tradisi bebehas dilakukan oleh para ibu dan remaja putri secara bergotong royong. Beberapa tahap tradisi bebehas antara lain sebagai berikut :
- Memisahkan padi dari tangkainya, yang disebut mengirik
- Menjemur biji padi, yang disebut mengisal
- Memisahkan bulir padi dari kulitnya dengan menggunakan lesung
- Menaruh biji padi ke dalam alat yang terbuat dari balok kayu, yang disebut isaram
- Membawa hasil panen padi ke tempat tuan rumah yang akan mengadakan hajatan
E. Hukum Sasi Di Maluku
Hukum sasi di Maluku adalah tradisi larangan sementara untuk mengambil hasil laut atau hutan pada waktu tertentu. Sasi merupakan sistem hukum adat yang bertujuan menjaga kelestarian sumber daya alam. Hukum Sasi dilakukan agar saat datang waktu panen hasilnya akan dinikmati bersama-sama sehinggga masyarakat benar-benar merasakan hasil kerja kerasnya.Ciri-ciri hukum sasi di Maluku antara lain sebagai berikut :
- Sasi dapat diterapkan di laut, hutan, atau lahan pertanian
- Sasi melarang perburuan, penangkapan ikan, penebangan, dan kegiatan lain yang merusak sumber daya alam
- Sasi diberlakukan untuk menjaga kesejahteraan anggota suku
- Sasi diterapkan melalui partisipasi seluruh masyarakat
- Sasi dilaksanakan dengan bantuan lembaga adat yang disebut kewang
Hukum sasi pada mulanya dilakukan oleh para raja Maluku pada zaman sebelum kemerdekaan. Manfaat hukum sasi antara lain dapat menjaga keseimbangan ekosistem, melindungi sumber daya alam, menjaga mutu dan populasi sumber daya alam hayati, dan menjaga kesejahteraan anggota suku.
Adat ma'nene adalah adat masyarakat Toraja di mana jenazah leluhur akan dibersihkan, digantikan baju dan kainnya. Adat ma'nene termasuk dalam upacara adat Rambu Solo. Tujuan adat ma'nene antara lain :
- Ungkapan terima kasih dan penghormatan kepada leluhur
- Mencerminkan pentingnya hubungan antar anggota keluarga
- Memperkenalkan anggota keluarga muda kepada leluhur
Adat ma'nene dilaksanakan diawali dengan datangnya para anggota keluarga ke Patane untuk mengambil jenazah leluhur yang telah meninggal dunia. Pelaksanaan adat ini antara lain sebagai berikut :
- Biasanya dilakukan setiap tiga tahun sekali, pada bulan Agustus
- Sebelum membuka kuburan, keluarga leluhur membaca doa dalam bahasa Toraja Kuno
- Keluarga mengeluarkan jasad dan membersihkannya menggunakan air
- Jasad dikeringkan dan diganti dengan baju atau peti baru
Tradisi Cingcowong adalah upacara adat masyarakat Desa Luragung Landeuh, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat untuk meminta hujan. Tradisi ini dilakukan saat terjadi kemarau panjang. Tujuan Memohon kepada Tuhan a gar menurunkan hujan, Menyuburkan lahan pertanian. Boneka Cingcowong terbuat dari batok kelapa yang dilukis menjadi Putri cantik. Badan boneka terbuat dari rangkaian bambu yang diberi baju dan sampur (selendang) serta diberi kalung yang terbuat dari bunga kamboja.
Pertujukkan upacara Cingcowong memerlukan tahap persiapan sebelum dilaksanakannya upacara tersebut. Urutan kegiatan ritual Cingcowong adalah sebagai berikut:
- Punduh berpuasa dua hari dua malam untuk menyucikan diri
- Punduh dan pembantunya membawa boneka Cingcowong
- Berjalan tiga kali bolak-balik di antara anak tangga yang diletakkan di lantai
- Punduh duduk di tengah tangga dan memangku boneka Cingcowong
- Punduh menyisir rambut boneka
- Boneka bergerak mengikuti irama lagu
- Boneka bergerak semakin tidak terkendali
- Punduh mengucapkan "cingcowong cingcowong, hulu canting awak bubu"
- Punduh menyipratkan air bunga kamboja ke arah penonton
- Punduh mengatakan "Hujan.. hujan.. hujan."
H. Tatung di Singkawang
Tradisi Tatung merupakan tradisi masyarakat Singkawang di Provinsi Kalimantan Barat menjelang peringatan Cap Go Meh. Secara harfiah, Tatung dalam bahasa Hakka memiliki arti orang yang dirasuki roh, dewa, leluhur, ataupun kekuatan supranatural. Tatung dikenal dengan unjuk kesaktian, di mana mereka melakukan aksi ekstrem seperti menusukkan benda tajam ke tubuh dan kemudian memasuki trance untuk bertransformasi menjadi berbagai dewa atau dewi Tiongkok.
Mengenakan pakaian khas tionghoa badan dan pipi para tatung ditusuk menggunakan benda-benda tajam kemudian mengitari kota. Mereka memiliki kekebalan seperti pada Debus. Menurut kepercayaan, Pawai Tatung merupakan ritual saat Cap Go Meh sebagai bentuk untuk menangkal musibah sepanjang tahun, sekaligus mengusir roh-roh jahat dan membersihkan kota dari kejahatan dan malapetaka.
I. Pasola di Nusa Tenggara Timur
Pasola adalah tradisi upacara adat Sumba di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berupa permainan ketangkasan melempar lembing kayu dari atas kuda. Pasola merupakan bagian dari ritual Marapu yang dianut sebagian masyarakat Sumba. Pasola berasal dari kata sola atau hola yang berarti sejenis lembing kayu.
Upacara adat ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut : merayakan musim tanam padi, ungkapan suka cita atas hasil panen, serta meminta keberkahan kepada dewata agar memberikan keselamatan dan kesuburan. Kegiatan yang dilakukan pada pasola antara lain sebagai berikut :
- Dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya
- Di beberapa kampung di Sumba Barat, seperti Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura
- Diawali dengan upacara "nyale", yaitu pencarian cacing laut di pantai
- Dua kelompok yang bertanding langsung memasuki arena dan mengitari arena ambil mengacung-acungkan lembing
J. Lompat Batu Nias
Lompat batu Nias (Fahombo) merupakan sebuah tradisi yang hanya dilakukan oleh laki-laki suku Nias. Tradisi Lompat Batu biasanya dilakukan para pemuda dengan cara melompati tumpukan batu setinggi 2 meter untuk menunjukkan bahwa mereka sudah pantas untuk dianggap dewasa secara fisik.
Lompat Batu menjadi sarana untuk melatih ketangkasan, keberanian kematangan fisik dan mental para pemuda Nias agar menjadi kuat dan kokoh dalam berperang. Tradisi ini bisa ditemukan Desa Bawomataluo. Desa adat di Kabupaten Nias Selatan yang kental dengan Tradisi Lompat Batu. Bawomataluo dalam bahasa Nias berarti bukit matahari. Selain ditampilkan secara adat, tradisi lompat batu juga menjadi pertunjukkan menarik, khususnya bagi para wisatawan yang datang ke sana.
K. Grebek Sawal Di Jogjakarta
Grebeg Syawal adalah tradisi Keraton Yogyakarta yang diselenggarakan pada hari raya Idul Fitri. Tradisi ini merupakan bentuk syukur dan sedekah atas hasil pertanian. Kegiatan Grebek Syawal dilakukan dengan mengarak gunungan-gunungan yang diusung oleh abdi dalem dan diawasi prajurit Bregodo. Kemudian Gunungan diletakan di halaman Masjid Gedhe Yogyakarta. Para abdi dalem mengambil bagian dari gunungan dan dibagikan kepada warga.
Demikian beberapa informasi tentang Keunikan Kearifan Lokal Masyarakat Indonesia. Semoga tulisan ini bermanfaat.