Untuk mengerjakan tugas menulis cerita pendek tersebut perhatikan ketentuan berikut.
- Cerpen yang ditulis memenuhi syarat cerpen, yaitu kurang dari 10. 000 kata dan selesai dibaca dalam kurang dari 10 menit.
- Fokus kepada satu tokoh utama dan mengangkat satu permasalahan penting yang dialami oleh tokoh.
- Tema diangkat dari kejadian sehari-hari baik yang kalian alami sendiri atau dari orang lain.
- Terdapat salah satu nilai kehidupan yang terkandung pada peristiwa tersebut entah nilai moral, agama, sosial, atau budaya.
- Tentukan latar tempat dan latar waktu yang akan digunakan dalam cerita pendek tersebut.
- Susunlah alur cerita dengan memperhatikan lima tahapan, yaitu pengenalan, kemunculan konflik, konflik memuncak, konflik menurun, dan penyelesaian.
- Perhatikan gaya bahasa untuk membuat cerita lebih hidup.
- Gunakan ejaan dan tanda baca yang baik.
- Buatlah kerangka karangan terlebih dahulu sebelum kamu menuliskan cerita pendek tersebut.
- Tulisanmu akan dipajang di kelas dan siswa lain akan menulis resensi berdasarkan cerpen yang kalian buat
Judul : Tragis
Jumlah kata : 888
Nilai Keagamman :
Hingga pada hari terakhir, kami berpisah. Beberapa bulan setelah pertemuan di kegiatan workshop saya pulang kampung halaman untuk berlebaran. Kampung saya denga Mba Hana memang berdekatan.
Air matanya mengering, raut mukanya lembab, dadanya pun tampak semakin sesak olehbeban hidupnya. Sama seperti hari-hari kemarin, selalu saja tidak bisa akur dengan suami. Hidup yang dia jalani, seperempat abad lamanya, tidak membuat pasangan kian harmonis. Sejak awal penikahan ada satu sikap yang sangat dia dambakan yang tidak dimiliki oleh suaminya, yaitu romantis. Dalam satu rasa ini dia harus rela melewatinya, demi kelanggengan mahligai rumah tangganya.
"Mba apa sikapku masih seperti dulu?" Sapa Hana ketika kita baru bertemu setelah lima belas tahun lamanya tidak bertemu.
"Ya mba tidak ada yang berubah, semua tetep seperti dulu. Kecuali,...." Sambung sahabatnya membuat penasaran Hana.
" Apa Mba? Tanyanya nggak sabar.
"Bodi kita, ya saya dan Mba Hana sekarang gemuk." Jawabku sekenanya.
Kamipun tertawa berdua, membenarkan ucapanku. Setelah itu kamipun mengucapkan kata perpisahan sejenak lantaran akan mandi untuk pembukaan workshop dari kementrian sore itu. Empat hari bersama rasanya kurang untuk menceritakan kenangan yang telah terajut, mulai dari mengenang masa-masa kami kuliah sampai pada cerita keluarga, karier dan segala kenangan yang pernah ada di antara kita. Waktu itu kebetulan kami tidak sekamar, namun sering kita ketemuan, pada saaat-saat istirahat kegiatan kami.
Ketika menyapa kami memang sama, yaitu Mba. Mba Hana pangil saya Mba karena usia saya lebih tua, namun saya panggil Mba Hana dengan sebuta Mba, karena Mba Hana adalah kakak kelas saya di kampus.
Entah pertemuan ke berapa pada kegiatan worshop kali ini, Mba Hana tampak riang, namun sebagai sahabat yang telah lama bersama, saya tidak bisa dikibuli, ada rasa yang tersimpan. Dan memang benar tebakanku, ketika saya bertendang ke kamarnya.
"Mba....." begitu dia mengawali setelah kita menyeruput teh yang sengaja Mba Hana buat untuk kami berdua di kamarnya.
"Apa salah kalau batinku protes perjuangkan keromantisan diantara kami." Lanjutnya, sementarasaya tetap menjadi pendengar setia.
Suara HP Mba Hana memaksa kami menjeda percakapan, dan segera Mba Hana mengangkat HPnya. Samar-samar saya dengar ada suara laki-laki dari balik HP tersebut. Wajah sumringah terpancar ketika dia menerima panggilan di HPnya.
Lama, lama sekali berlangsung panggilan itu, tidak ingin saya mengganggu dan mendengarkan percakapan mereka lebih lanjut, sehingga dengan isyarat saya bepamitan untuk ke kamar yang letaknya hanya dua kamar setelah kamar Mba Hana. Dan saya pun pergi setelah ada isyarat mengiyakan.
Malam ini sesi telah berakhir, kami sempatkan bertemu kembali di lobi hotel. Sengaja kami memilih di sofa warna lembut, agak terpisah dari sofa-sofa lain karena letaknya di pojok.
Harumnya tiga kelopak bunga mawar kecil yang terpasang di meja persis di hadapan kami menghampiri dengan lembut.
"Mba kemarin asyik banget berteleponnya. Dari suami ya." Tanyaku kepo mengawali pembicaraan.
"Bukan Mba, itu yang telepon tadi adalah teman. Namanya Pak Bagus, beliau satu sekolah, wakasek humas di sekolah. Ada masalah sedikit di sekolah jadi dia telp." Jawab Mba Hana, sang kepala sekolah di tempat Pak Bagus mengajar.
"Halah... masalah apa masalah." Lanjutku mengorek.
"Sebenarnya bukan sekadar masalah sekolah, tapi masalah hati." Mba Hana akhirnya mengaku.
"Tuh... betul kan perasaanku, makanya sengaja saya tinggalkan tadi karena saya tidak ingin menganggu.
Memang sejak kenal dengan Pak Bagus, Mba Hana merasa ada teman. Karena Pak Bagus adalah sosok idola yang Mba Hanaidam-idamkan. Pak Bagus dan Mba Hana cocok. Namun mereka membungkus pertemanan dengan sangat rapi, sehingga semua guru-guru di sekolah tersebut tidak mengetahui kalau antara kepala sekolah dengan wakasek humas teman dekat. Semua komunikasi
yang kasat mata tampak profesional, sabagai layaknya antara kepala sekolah dengan wakaseknya. Semua tampak biasa saja di depan umum.
"Mba, Pak Bagus mengerti aku, beliau perhatian, memang sering saya curhat sama dia. Apa salah mba? Aku masih butuh teman yang mengerti. Memang beliau juga sudah punya istri. Lega rasanya kalau saya menumpahkan beban sama beliau." Lanjut Mba Hana dengan bangga.
"Memang tidak ada tempat curhat lain? Suami Mba Hana, misalnya" sambungku dengan setengah tidak setuju dengan tingkahnya.
"Mba, sejak berumah tangga, komunikasi kami hambar. Komunikasi simbolisme, aku menyebutnya. Komunikasi yang tidak pernah lebih dari dua atau tiga kata, sebatas menanyakan kedaan anak-anak, misalnya. Itu semua aku biarkan. Suamiku adalah sosok yang sangat berharga bagi pengembangan karierku. Tapi semenjak saya jadi kepala sekolah, beberapa bulan setelah itu,
suami pensiun, komunikasi kami semakin susah. Tanpa alasan suami selalu menghindar." Mba Hana mulai menjelaskan dengan wajah sedih, dan terlihat air matanya menetes.
"Mba aku bukan patung yang tidak perlu sentuhan atau sapaan. Tanpa masalah, tanpa alasan suamiku meminta izin untuk pergi... pergi entah ke mana. Katanya akan mengaji ke pondok pesantren. Suami macam mana yang akan meninggalkan istri. Namun saya tetap bertahan. Hanya cara berkomunikasi dengan Pak Bagus, sebagai tempat pelampiasan" Lanjut Mba Hana dengan wajah sedih.
Saya masih menjadi pendengar, meski mataku semakin tidak kompromi. Maklum jam sudah menunjukkan pukul 24.00 WIB. Saya masih menampung tumpahan beban sahabatku. Hingga dia cerita kalau mereka sudah lama tidur sendiri, karena suami tidak mau diganggu.
Mereka tidak bernah bertengkar, rumah tangga berjalan apa adanya. Tapi ada rasa yang tak terbalaskan, ada rasa yang tak terbuktikan, Mba Hana ingin keromantisan. Ya meski ia dapatkan dari yang lain. Meski dia sadar itu dosa. Sesuatu yang tidak selayaknya terjadi, mestinya.
Hingga pada hari terakhir, kami berpisah. Beberapa bulan setelah pertemuan di kegiatan workshop saya pulang kampung halaman untuk berlebaran. Kampung saya denga Mba Hana memang berdekatan.
Melalui tayangan televisi lokal saya mendengar berita kalau seorang suami bunuh diri. Dari alamat yang diberitakan saya kenal betul kalau itu adalah alamat Mba Hana. Suami Mba Hana memilih dengan cara sepihak mengakhiri hidupnya. Tragis. Inalilahi wa innailaihi rojiun.
Demikian pembahasan mengenai Menulis Cerita Pendek Berdasarkan Kejadian Sehari-Hari. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Sumber : Buku Bahasa Indonesia Kelas XI Kurikulum Merdeka, Kemendikbud
0 komentar:
Post a Comment
Mohon tidak memasukan link aktif.