Home » , , , » Menggunakan Kaidah Bahasa dalam Hikayat dan Cerpen

Menggunakan Kaidah Bahasa dalam Hikayat dan Cerpen

Pada pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas X Kurikulum Merdeka terdapat pembahasan tentang  Menggunakan Kaidah Bahasa dalam Hikayat dan Cerpen. Tujuan pembelajaran kali ini adalah memahami kaidah-kaidah bahasa yang digunakan dalam menyusun teks hikayat dan cerpen

a. Konjungsi Urutan Waktu
Sebagai teks yang menggambarkan sebuah alur cerita, hikayat dan cerpen tidak dapat lepas dari penggunaan konjungsi urutan waktu. Konjungsi urutan waktu digunakan untuk menyatakan urutan sebuah kejadian berdasarakan waktu terjadinya, baik itu sebelumnya, saat, maupun setelahnya. 

Perbedaan konjungsi yang digunakan antara hikayat dan cerpen terdapat pada bahasa yang digunakan. Hikayat menggunakan konjungsi urutan waktu berupa kata-kata arkais. Adapun cerpen banyak menggunakan kata populer. Perhatikanlah tabel berikut.
Tabel
b. Majas
Majas atau gaya bahasa sangat erat kaitannya dengan cerita fiksi untuk menambahkan keindahan cara penyampaian cerita. Beberapa majas yang sering kali digunakan baik dalam hikayat maupun cerpen adalah sebagai berikut:

1) Antonomasia
Antonomasia adalah majas yang menyebut seseorang berdasarkan ciri atau sifatnya yang menonjol.

Contoh: 
  • Hatta beberapa lamanya maka isteri si Miskin itupun hamillah tiga bulan lamanya.
  • Tak tahu mengapa, saat itu aku mengucapkan terima kasih pada perempuan tua itu.
  • Pendekar sakti dalam kerajaan Sriwijaya berperan sebagai si pahit lidah.
  • Pantas juara satu, dia kan si paling rajin sedunia.
  • Si penjilat sedang menjalankan aksinya.

2) Personifikasi
Personifikasi adalah majas yang menyatakan benda mati sebagai sesuatu yang seolah-olah hidup layaknya manusia.

Contoh: 
  • Samar-samar nyanyian jangkrik terdengar di sampingku.
  • Angin menyambar wajahku.
  • Genangan lumpur menahan diri sejenak.
  • Air, udara, dan tanah memberikan kehidupan bagi semua makhluk hidup tanpa ikatan.
  • Bumi mengambil semua bentuk kehidupan tanpa pilih kasih.

3) Metafora
Metafora adalah majas yang menggunakan kata pembanding untuk mewakili hal lain atau bukan yang sebenarnya. Mulai dari bandingan benda fisik, sifat, ide, atau perbuatan lain.

Contoh: 
  • Seperti biasa, setibaku di istana tuaku, perempuan tua menyambutku dengan hangat.
  • Presiden Rusia tersulut api amarah
  • Pria itu seorang buaya darat
  • Malas baca jadi otak udang
  • Ibuku dulu adalah kembang desa

4) Simile
Majas simile adalah majas yang membandingkan suatu hal dengan hal lainnya menggunakan kata penghubung atau kata pembanding. Kata penghubung atau kata pembanding yang biasa digunakan antara lain: seperti, laksana, bak, dan bagaikan. 

Contoh: 
  • “Kamu tidur seperti kerbau,” canda ibu"
  • Keadaan keluarga Pak Ujang bagai telur di ujung tanduk. 
  • Mereka tidak akan bisa bersama sebab sifat keduanya seperti langit dan bumi. 
  • Tangisan Basri laksana sambaran petir.
  • Perkataannya bak sembilu menyayat hatiku.
  • Tubuhnya seperti tiang yang tinggi menjulang.

5) Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan dengan cara melebih-lebihkan sesuatu dari yang sebenarnya.

Contoh: 
  • Seraya berkata kepada suaminya, “Adapun akan emas ini sampai kepada anak cucu kita sekalipun tiada habis dibuat belanja.”
  • Aku tak dapat berbicara, tanganku dingin bak es yang keluar dari freezer.
  • Gedung-gedung di Jakarta itu telah mencapai langit.
  • Ketulusanmu membantuku setiap aku membutuhkan, membuat hatiku meleleh.
  • Perasaanku teriris-iris melihat kau jalan dengannya.
  • Kasih ibu tak terhingga sepanjang masa.
  • Bahagiaku melambung tinggi sampai ke angkasa.

Ubahlah kutipan Hikayat si Miskin ini menjadi bahasa cerpen yang lebih populer. Gunakanlah konjungsi urutan waktu dan berbagai majas untuk mengembangkannya.
Hikayat si Miskin
Pada zaman dahulu hiduplah seorang raja dan ratu dari kayangan yang mendapat hukuman dari Batara Indera. Mereka dibuang ke negeri antah-berantah menjadi orang miskin. Tidak ada satu pun orang di negeri itu yang menyukainya. Setiap kali mereka mengemis di pasar dan perkampungan, mereka dipukuli dan diusir hingga mereka pun pergi ke hutan. Di hutan, mereka hidup dengan memakan dedaunan,  buah-buahan, bahkan kayu-kayu.

Beberapa lama kemudian, sang istri pun hamil. Saat kandungannya berusia tiga bulan ia menangis dan meminta kepada suaminya untuk mengambilkan buah mempelam yang tumbuh di taman istana kerajaan. Si Miskin pun terketuk hatinya karena ia sudah lama menanti kehadiran seorang anak. Namun, ia bingung karena hal itu sepertinya tidak mungkin ia lakukan.

“Bagaimana mungkin aku dapat mendapatkannya, istriku? Mengemis sedikit saja, kita sudah diusir,” kata si Miskin kepada istrinya yang masih merengek seperti anak kecil.

Tiada disangka-sangka, raja sangat bermurah hati dan memberikan mempelam yang diminta Si Miskin. Buah lain seperti nangka pun diberi raja. Penduduk kampung yang melihatnya jatuh kasihan dan bermurah hati memberi Si Miskin kue dan juadah (kue basah). Mungkin berkat tuah anak yang dikandung istrinya juga hal yang demikian itu terjadi.

Pada hari baik, setelah cukup bulannya, istri Si Miskin melahirkan seorang putra yang sangat elok parasnya. Anak itu diberi nama Marakermah yang artinya anak dalam penderitaan.

Ketika Si Miskin menggali tanah untuk memancangkan tiang atap tempat berteduh, tergali olehnya taju (topi mahkota) yang penuh berhias emas. Dengan kehendak Yang Mahakuasa, terjadilah sebuah kerajaan lengkap dengan alat, pegawai, pengawal, dan sebagainya di tempat itu. Si Miskin menjadi rajanya dengan nama Maharaja Indra Angkasa dan istrinya menjadi permaisuri dengan nama Ratna Dewi. Kerajaan itu mereka namakan Puspa Sari.

Demikian pembahasan mengenai Menggunakan Kaidah Bahasa dalam Hikayat dan Cerpen. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Sumber : Buku Bahasa Indonesia Kelas X Kurikulum Merdeka, Kemendikbud
Posted by Nanang_Ajim
Mikirbae.com Updated at: 8:41 PM

0 komentar:

Post a Comment

Mohon tidak memasukan link aktif.