Home » , , , » Menganalisis Kebahasaan Teks Kemelut di Majapahit

Menganalisis Kebahasaan Teks Kemelut di Majapahit

Membaca novel sejarah tidak dapat dilepaskan dari bahasa yang digunakan. Seperti diketahui bersama bahwa bahasa novel sejarah yang dianut adalah bahasa yang digunakan dalam karya sastra pada umumnya, yakni konotatif dan emotif. Hal ini berbeda dengan bahasa ilmiah yang denotatif dan rasional. Sekalipun konotatif dan emotif, bahasa novel tetap mengacu kepada bahasa yang digunakan masyarakat (konvensional) agar tetap dipahami oleh pembacanya. Penggunaan bahasa konotatif dan emotif diwujudkan pengarang dengan merekayasa bahasa dengan menggunakan beragam gaya bahasa, pencitraan, dan beragam pengucapan (style).

Beberapa kaidah kebahasaan yang berlaku pada novel sejarah adalah  sebagai berikut.
1. Menggunakan banyak kalimat bermakna lampau.
Contoh:
  • Prajurit-prajurit yang telah diperintahkan membersihkan gedung bekas asrama telah menyelesaikan tugasnya.
  • Dalam banyak hal, Gajah Mada bahkan sering mengemukakan pendapat-pendapat yang tidak terduga dan membuat siapa pun yang mendengar akan terperangah, apalagi bila Gajah Mada berada di tempat berseberangan yang melawan arus atau pendapat umum dan ternyata Gajah Mada terbukti berada di pihak yang benar.

2. Menggunakan banyak kata yang menyatakan urutan waktu (konjungsi  kronologis, temporal), Seperti: sejak saat itu, setelah itu, mula mula,  kemudian.
Contoh:
  • Setelah juara gulat itu pergi Sang Adipati bangkit dan berjalan tenang-tenang masuk ke kadipaten 
  • ”Sejak sekarang kau sudah boleh membuat rancangan yang harus kaulakukan, Gagak Bongol. Sementara itu, di mana pencandian akan  dilakukan, aku usahakan malam ini sudah diketahui jawabnya.”

3. Menggunakan banyak kata kerja yang menggambarkan suatu tindakan  (kata kerja material)
Contoh:
Di depan Ratu Biksuni Gayatri yang berdiri, Sri Gitarja duduk bersimpuh. Emban tua itu melanjutkan tugasnya, kali ini untuk Sekar Kedaton Dyah Wiyat yang terlihat lebih tegar dari kakaknya, atau boleh jadi merupakan penampakan dari isi hatinya yang tidak bisa menerima dengan tulus pernikahan itu. Ketika para Ibu Ratu menangis yang menulari siapa pun untuk menangis, Dyah Wiyat sama sekali tidak menitikkan air mata. Manakala menatap segenap wajah yang hadir di ruangan itu, yang hadir dan melekat di benaknya justru wajah Rakrian Tanca. Ayunan tangan Gajah Mada yang menggenggam keris ke dada prajurit tampan itu masih terbayang melekat di kelopak matanya.

4. Menggunakan banyak kata kerja yang menunjukkan kalimat tak langsung  sebagai cara menceritakan tuturan seorang tokoh oleh pengarang. Misalnya,  mengatakan bahwa, menceritakan tentang, menurut, mengungkapkan,  menanyakan, menyatakan, menuturkan. 
Contoh:
  • Menurut Sang Patih, Galeng telah periksa seluruh kamar Syahbandar dan ia telah melihat banyak botol dan benda-benda yang ia tak tahu nama dan gunanya
  • Riung Samudera menyatakan bahwa ia masih bingung dengan semua penjelasan Kendit Galih tentang masalah itu.

5. Menggunakan banyak kata kerja yang menyatakan sesuatu yang dipikirkan atau dirasakan oleh tokoh (kata kerja mental), misalnya, merasakan, menginginkan, mengharapkan, mendambakan, mentakan, menganggap. 
Contoh:
  • Gajah Mada sependapat dengan jalan pikiran Senopati Gajah Enggon.
  • Melihat itu, tak seorang pun yang menolak karena semua berpikir Patih Daha Gajah Mada memang mampu dan layak berada di tempat yang sekarang ia pegang.

6. Menggunakan banyak dialog. Hal ini ditunjukkan oleh tanda petik ganda  (”….”) dan kata kerja yang menunjukkan tuturan langsung. 
Contoh:
  • ”Mana surat itu?”
  • ”Ampun, Gusti Adipati, patik takut maka patik bakar.” 

7. Menggunakan kata-kata sifat (descriptive language) untuk menggambarkan tokoh, tempat, atau suasana.
Contoh:
Gajah Mada mempersiapkan diri sebelum berbicara dan menebar pandangan mata menyapu wajah semua pimpinan prajurit, pimpinan dari satuan masing-masing. Dari apa yang terjadi itu terlihat betapa besar wibawa Gajah Mada, bahkan beberapa prajurit harus mengakui wibawa yang dimiliki Gajah Mada jauh lebih besar dari wibawa Jayanegara. Sri Jayanegara masih bisa diajak bercanda, tetapi tidak dengan Patih Daha Gajah Mada, sang pemilik wajah yang amat beku itu.
Kemelut di Majapahit (S.H. Mintardja)
Tugas
Petunjuk: Bacalah kembali kutipan novel sejarah Kemelut di Majapahit (jilid 01).Kemudian, analisislah kaidah kebahasaan novel sejarah tersebut dengan mengisi tabel berikut ini
No.Kaidah bahasaNovel Sejarah Rumah Kaca
1.Kalimat bermakna lampau
  1. Dan hubungan antara junjungan ini dengan para pembantunya, sejak perjuangan pertama sampai Raden Wijaya menjadi Raja, amatlah erat dan baik.
  2. Akan tetapi guncangan pertama yang memengaruhi hubungan ini adalah ketika Sang Prabu telah menikah dengan empat putri mendiang Raja Kertanegara, telah menikah lagi dengan seorang putri dari Melayu.
  3. Sebelum putri dari tanah Melayu ini menjadi istrinya yang kelima, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana telah mengawini semua putri mendiang Raja Kertanegara.
  4. Akan tetapi, datanglah pasukan yang beberapa tahun lalu diutus oleh mendiang Sang Prabu kertanegara ke negeri Malayu.
  5. Tentu saja Ronggo Lawe, sebagai seorang yang amat setia sejak zaman Prabu Kertanegara, berpihak kepada Dyah Gayatri.
  6. Pengangkatan ini memang banyak terpengaruh oleh bujukan Dara Petak.
  7. Mereka semua mengenal belaka sifat dan watak Ronggo Lawe, banteng Mojopahit yang gagah perkasa, dan selalu terbuka, polos dan jujur, tanpa tedeng aling-aling dalam mengemukakan suara hatinya, tidak akan mundur setapak pun dalam membela hal yang dianggap benar.
  8. Kakang Ronggo Lawe, tindakanku mengangkat kakang Nambi sebagai patih hamangkubumi, bukanlah merupakan tindakan ngawur belaka, melainkan telah merupakan suatu keputusan yang telah dipertimbangkan masak-masak, bahkan telah mendapat persetujuan dari semua paman dan kakang senopati dan semua pembantuku.
  9. ...Ronggo Lawe berkata lantang, "Tentu saja tidak tepat! Paduka sendiri sathu siapa si Nambi itu! Paduka tentu masih ingat akan segala sepak terjang dan tindak tanduknya dahulu! Dia seorang bodoh, lemah, rendah bumi, penakut, sama sekali tidak memiliki wibawa..." 
2.Penggunaan konjungsi yang menyatakan urutan waktu
  1. Setelah Raden Wijaya berhasil menajdi Raja Majapahit pertama bergelar Kertarajasa Jayawardhana, beliau tidak melupakan jasa-jasa para senopati (perwira) yang setia dan banyak membantunya semenjak dahulu itu membagi-bagikan pangkat kepada mereka.
  2. Dan hubungan antara junjungan ini dengan para pembantunya, sejak perjuangan pertama sampai Raden Wijaya menjadi Raja, amatlah erat dan baik.
  3. Kemudian terdengar bunyi berkerotok dan ujung meja diremasnya menjadi hancur.
  4. Tak lama kemudian, hanya suara derap kaki Mego Lamat yang berlari congkalah yang memecah kesunyian gedung kadipaten itu, mengiris perasaan.
  5. .......Pada waktu itu, Sang Prabu sedang dihadap oleh para senopati dan punggawa
3.Penggunaan kata kerja material
  1. Mendengar berita itu dari seorang penyelidik yang datang menghadap pada waktu sang adipati sedang makan, Ronggo Lawe marah bukan main. Nasi yang sudah dikepalnya itu dibanting ke atas lantai dan karena dalam kemarahan tadi sang adipati menggunakan aji kedigdayaannya, maka nasi sekepal itu amblas ke dalam lantai. Kemudian terdengar bunyi berkerotok dan ujung meja diremasnya menjadi hancur.
  2. Kalau sang prabu sendiri kurang menyadari akan persaingan ini, pengaruh persaingan itu teras benar oleh para senopati dan terjadi perpecahan diam-diam.
  3. ...Akan tetapi, Adipati Ronggo Lawe bangkit berdiri, membiarkan kedua tangannya dicuci oleh istrinya yang berusaha menghiburnya.
  4. Di dalam kemarahan dan kekecewaan, Adipati Ronggo Lawe masih ingat untuk menghaturkan sembahnya, tetapi setelah semua salam tata susila ini selesai, serta merta Ronggo Lawe menyembah dan berkata dengan suara lantang, "Hamba sengaja datang menghadap paduka untuk mengingatkan Paduka dari kekhilafan yang paduka lakukan di luar kesadaran Paduka!"
4.Penggunaan kalimat tidak langsung
  1. Pengangkatan ini memang banyak terpengaruh oleh bujukan Dara Petak.
  2. Mendengar akan pengangkatan patih ini, merahlah muka Adipati Ronggo Lawe.
  3. Ketika mendengar berita ini dia sedang makan, seperti biasa dilayani oleh kedua orang istrinya yang setia, yaitu Dewi Mertorogo dan Tirtowati.
  4. Mendengar berita itu dari seorang penyelidik yang datang menghadap pada waktu sang adipati sedang makan, Ronggo Lawe marah bukan main.
  5. Nasi yang sudah dikepalnya itu dibanting ke atas lantai dan karena dalam kemarahan tadi sang adipati menggunakan aji kedigdayaannya, maka nasi sekepal itu amblas ke dalam lantai. 
  6. Kemudian terdengar bunyi berkerotok dan ujung meja diremasnya menjadi hancur
5.Penggunaan kata kerja mental
  1. Mendengar akan pengangkatan patih ini, merahlah muka Adipati Rongo Lawe.
  2. Mendengar berita itu dari seorang penyelidik yang datang menghadap pada waktu sang adipati sedang makan, Ronggo Lawe marah bukan main.
  3. Sang Prabu sangat mencintai istri termuda ini yang telah diperistri oleh Sang Baginda, lalu diberi nama Sri Indraswari.
  4. Akan tetapi, Adipati Ronggo Lawe bangkit berdiri, membiarkan kedua tangannya dicuci oleh kedua orang istrinya yang berusaha menghiburnya.
  5. Sang Prabu sendiri juga memandang dengan alis berkerut tanda tidak berkenan di hatinya.
  6. Semua muka para penghadap menjadi pucat mendengar ucapan ini, dan semua jantung di dalam dada berdebar tegang.
6.Penggunaan dialog
  1. ”Kakangmas adipati ... harap Paduka tenang ...,” Dewi Mertorogo menghibur suaminya.
  2. ”Ingatlah, Kakangmas Adipati ... sungguh merupakan hal yang kurang baik mengembalikan berkah ibu pertiwi secara itu...”
  3. ”Aku harus pergi sekarang juga!“ katanya.
  4. ”Pengawal lekas suruh persiapkan si Mego Lamat di depan! Aku akan berangkat ke Mojopahit sekarang juga!”
  5. ”Kakang Ronggo Lawe, apakah maksudmu dengan ucapan itu?” 
  6. "Yang hamba maksudkan tidak lain adalah pengangkatan Nambi sebagai pepatih paduka! Keputusan yang padukaambil ini sungguh-sungguh tidak tepat, tidak bijaksana, dan hamba yakin bahwa paduka tentu telah terbujuk dan dipengaruhi suara dari belakang! Pengangkatan Nambi sebagai Patih Hamangkubumi sungguh merupakan kekeliruan yang besar sekali, tidak tepat dan tidak adil, padahal Paduka terkenal sebagai seorang Mahajara yang arif dan bijaksana dan adil!"
7.Penggunaan kata sifat
  1. Dyah Gayatri yang bungsu ini memang cantik jelita seperti seorang dewi kahyangan.
  2. Pasukan ini dinamakan pasukan pamalayu yang dipimpin oleh seorang senopati perkasa bernama Kebo Anabrang.
  3. ..Putri yang kedua yaitu yang muda bernama Dara Petak, Sang Prabu Kertarajasa terpikat hatinya oleh kecantikan sang putri ini, maka diambillah Dyah Dara Petak menjadi istrinya yang kelima.....
  4. Karena Dara Petak memang cantik Jelita dan pandai membawa diri.
  5. Tentu saja Ronggo Lawe, sebagia seorang yang amat setia sejak zaman Prabu Kertanegara, berpihak kepada Dyah Gayatri.
  6. Namun karena segan kepada Sang Prabu Kertarajasa yang bijaksana, persaingan dan kebencian yang dilakukan secara diam-diam itu tidak sampai menjalar menjadi permusuhan terbuka.
  7. Muka patih Nambi sebentar pucat sebentar merah....
  8. Lembu Sora yang sudah tua itu menjadi pucat mukanya....
  9. "....padahal paduka terkenal sebagai seorang Maharaja yang bijaksana dan adil"
  10. "..Dia seorang bodoh, lemah, rendah budi, penakut, sama sekali tidak memiliki wibawa..."
Demikian pembahasan mengenai Menganalisis Kebahasaan Teks  Kemelut di Majapahit. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Sumber : Buku Bahasa Indonesia Kelas XII Kurikulum Merdeka, Kemendikbud
Posted by Nanang_Ajim
Mikirbae.com Updated at: 10:40 AM

0 komentar:

Post a Comment

Mohon tidak memasukan link aktif.