Home » , , , » Mengubah Petikan Cerpen Menjadi Teks Prosedur

Mengubah Petikan Cerpen Menjadi Teks Prosedur

Secara singkat, fungsi teks prosedur adalah menyampaikan langkah-langkah mengerjakan sesuatu agar mudah dipahami dan diikuti atau dilakukan oleh pembaca. Isi teks prosedur berupa kalimat perintah, langkah pembuatan, proses melakukan sesuatu, atau cara menggunakan sesuatu yang dituliskan secara beruntun dan sistematis. Oleh karena itu, biasanya teks prosedur menggunakan angka yang berurutan untuk memudahkan pemahaman pembaca.

Fungsi teks prosedur adalah menyampaikan langkah-langkah mengerjakan sesuatu agar mudah dipahami dan diikuti atau dilakukan oleh pembaca. Isi teks prosedur berupa kalimat perintah, langkah pembuatan, proses melakukan sesuatu, atau cara menggunakan sesuatu yang dituliskan secara beruntun dan sistematis. Oleh karena itu, biasanya teks prosedur menggunakan angka yang berurutan untuk memudahkan pemahaman pembaca.

Membaca
Bacalah cerita di bawah ini dengan saksama.

Tabu
Namanya Isrul. Dia sangat bersyukur karena dilahirkan di keluarga yang memadai. Untuk biaya sekolah, orang tuanya sangat mampu menyediakannya. Anehnya, kemudahan untuk sekolah tak dapat dia nikmati.
Tabu
Kepala desa dan guru-guru di desa Isrul selalu berusaha mengubah pola pikir masyarakat di desa. Ketika ada penyuluhan pendidikan, rata-rata orang tua hanya mendengar saja, sesudah itu kembali sibuk dengan urusan sawah, kebun, sapi, dan berbagai mata pencaharian lainnya.

Salah seorang di antara mereka adalah ayah Isrul. Baginya, sekolah itu bagai angin lalu. Baca buku itu buang waktu. Kepada anak lelakinya, dia selalu menegaskan bahwa membantu orang tua adalah hal yang utama.

Karenanya, yang dilakukan Isrul begitu pulang sekolah adalah mengurus sapi. Dia senang mengurus binatang, tapi kegiatan ini sungguh menyita waktu. Dia harus memeriksa rumput dan menyingkirkan barang asing seperti ranting atau plastik yang mungkin terbawa. Setelah itu dia mencacahnya menjadi potongan kira-kira 10 cm. Dulu waktu sapi-sapi itu masih kecil, potongan rumputnya pun lebih kecil lagi.

Tentu parang besar yang dia gunakan harus diasah dulu agar tajam sehingga proses pencacahan berlangsung cepat. Isrul ingin tugasnya lekas selesai.

Pada saat Isrul mencacah rumput, dua sapi yang menunggu tak henti melenguh tak sabar.

“Tunggu sebentar. Aku juga lapar, sama seperti kalian. Kalian enak, tinggal makan. Setelah ini aku masih harus ke sawah menjaga padi dari serbuan burung,” sahut Isrul kepada sapi-sapinya.

Empat ember besar disiapkan, dua untuk rumput dua lagi untuk air minum sapi. Isrul meraup cacahan rumput dan menumpahkannya ke dalam ember. Sapi-sapi menyambutnya dengan sukacita. Ember berikutnya diisi air hangat yang dibubuhi sedikit garam buat air minum sapi-sapi itu.

Sambil mengusap keringat, Isrul menatap binatang peliharaannya. Bagaimanapun, dia punya tanggung jawab membantu orang tuanya. Urusan sekolahnya akan dia bahas dengan ayahnya nanti malam, apa pun risikonya. Dia sudah bertekad ingin melanjutkan sekolah ke kota kecamatan.

Mungkin masalah yang dialami Isrul juga dialami anak-anak sebayanya di negeri ini. Dia tinggal di desa terpencil, jauh dari hiruk pikuk perkotaan, dengan tradisi yang masih sangat kental. Banyak warga yang berpenghasilan tinggi dari pertanian dan peternakan, tetapi hampir semua orang tua di desanya tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah, termasuk ayah dan ibunya.

“Dulu tidak ada sekolah di desa ini.”

Begitu jawaban ayah Isrul ketika ditanya mengapa banyak warga yang tidak sekolah.

Ketika Isrul penasaran dan mencoba bertanya lebih jauh, ayahnya segera meninggikan suara, “Sudah, jangan banyak bicara. Tidak sopan sekali. Tahu apa kau tentang tempo dulu. Siapa yang bantu Ayah mengurus
kebun kalau kau sekolah terus?”

Begitu mendengar kalimat seperti itu, lagi-lagi Isrul terpaksa bungkam. Jika tidak, ayahnya akan tersinggung dan tidak akan ada yang bisa meredakan amarahnya hingga berhari-hari.

Isrul sangat menghormati ayahnya dan tak ada kata lain yang keluar melalui pita suaranya kecuali iyye’—iya. Sudah menjadi tradisi di desanya, bahwa semua perkataan orang tua sifatnya mutlak, dan menentang orang tua adalah tabu.

Jadi, saat anak-anak lain terhalang melanjutkan sekolah karena tak ada biaya, Isrul dan anak-anak di desanya harus berjuang meyakinkan orang tua bahwa sekolah itu penting. Perjuangan ini sungguh tidak mudah, karena jika seorang anak salah bicara sedikit saja, dia akan dianggap menentang orang tua. Sekali lagi, menentang orang tua adalah tabu.

Di antara hamparan sawah yang keemasan, Isrul mengharap sepercik cahaya. Dia ingin mencari cara agar berhasil keluar dari masalah itu. Isrul ingin bisa sekolah sampai tinggi, jika perlu setinggi angkasa. Dia ingin menjadi tokoh-tokoh pintar yang namanya tercantum di buku-buku perpustakaan sekolah. Dia ingin memajukan desanya suatu hari nanti.

Teks “Tabu” memuat prosedur memberi makan sapi sebagai salah satu kegiatan sehari-hari Isrul.

Memberi Makan dan Minum Sapi
a. Peralatan
  1. Parang yang tajam
  2. Alas mencacah
  3. Ember
b.Bahan
  1. Rumput
  2. Air hangat
  3. Garam
c. Langkah-langkah
  1. Pilah rumput dengan cermat, siapa tahu ada benda berbahaya yang dapat tertelan oleh sapi.
  2. Cacah rumput dengan parang. Ukuran cacahan tergantung usia sapi. Untuk sapi dewasa, ukuran cacahan kira-kira 10 cm.
  3. Letakkan dua ember di depan sapi, satu untuk wadah rumput satu untuk wadah air minum.
  4. Isi ember pertama dengan cacahan rumput. 
  5. Isi ember kedua dengan air hangat yang dibubuhi sedikit garam.

Mengeksplorasi Kosakata dalam Teks Cerita
Jelajah Kata
Bacalah kembali teks “Tabu” dan eksplorasilah kosakata berikut ini.
  1. tabu: n hal yang tidak boleh disentuh, diucapkan, dan sebagainya karena berkaitan dengan kekuatan supernatural yang berbahaya (ada risiko kutukan); pantangan; larangan
  2. memadai: v memenuhi (syarat, keinginan) dan sebagainya; mencukupi
  3. hidayah: npetunjuk atau bimbingan dari Allah Swt
  4. respons: ntanggapan; reaksi; jawaban
  5. tradisi: n adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat
  6. bungkam: a tertutup (tentang mulut)
  7. mutlak: amengenai segenapnya (segalanya); seutuhnya
  8. percik: ntitik-titik air yang berhamburan; recik-recik; renjis

Kalimat
  1. Berjalan di depan orang tua tanpa berkata “permisi” dianggap sebagai hal tabu. 
  2. Villa itu cukup memadai untuk digunakan sebagai tempat liburan.
  3. Hidayah adalah sebab utama keselamatan dan kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat.
  4. Para warga belum memberikan respons terkait kecelakaan yang terjadi pada siang hari ini.
  5. Perayaan hari besar agama itu janganlah hanya merupakan tradisi, haruslah dihayati maknanya.
  6. Ketika ditanya mengenai peristiwa itu mereka bungkam seribu bahasa.
  7. Keputusan wasit mutlak tidak dapat diganggu gugat.
  8. Ibu menyuruhku agar tidak duduk di beranda ketika hujan, karena percik air hujan bisa membasahi bajuku.

Kata manakah yang lebih sering kalian gunakan?
Dalam kegiatan ini, peserta didik diingatkan kembali pada penggunaan kata baku dan tidak baku. Peserta didik dapat diminta mencari jawabannya melalui kamus. Kata baku dalam tabel ini dibedakan dengan tanda khusus.
hidayahhidayatpraktekpraktikresponrespons
tampaknampakantriantrelembablembap
aksesoriaksesorisKet :Kata Baku--

Demikian pembahasan mengenai Mengubah Petikan Cerpen Menjadi Teks Prosedur. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Sumber : Buku Bahasa Indonesia Kelas IX Kurikulum Merdeka, Kemendikbud
Posted by Nanang_Ajim
Mikirbae.com Updated at: 1:59 PM

1 komentar:

Mohon tidak memasukan link aktif.