Home » , , , » Memahami Teks “Nama Keluarga”

Memahami Teks “Nama Keluarga”

Saat membaca, mungkin kalian menemukan kata yang tidak biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari, misalnya kata serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Kata-kata tersebut biasanya digunakan karena belum ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia yang dapat mendeskripsikan maknanya secara tepat.

Keterampilan mengidentifikasi ini diikuti dengan kemampuan menemukan arti kosakata melalui konteks kalimat dan melalui kamus. Keterampilan menggunakan kamus telah dipelajari peserta didik di kelas-kelas sebelumnya. Teks berjudul “Nama Keluarga” berkisah tentang anak lelaki dari keluarga Minangkabau. Dia bertanya-tanya mengapa sukunya mengikuti “Nama Keluarga” suku ibunya, tidak seperti kebanyakan teman lain yang mengikuti suku ayah.

Di rumah, dia berdiskusi dengan ibunya. Secara singkat ibunya menjelaskan tentang kebudayaan Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, yaitu menetapkan garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Tujuan pembelajaran kali ini adalah setelah membaca teks, peserta didik dapat menjawab pertanyaan bacaan dengan tepat.

Teks berikut ini memuat beberapa kata serapan dari bahasa daerah atau bahasa asing. Mari kita temukan dan kita pahami artinya.

Nama Keluarga
Saat mempelajari sensus penduduk, aku dan teman-teman di kelas berlatih mengisi formulir sesuai data. Banyak kolom yang harus kami isi termasuk nama ayah dan nama ibu.

Salah satu temanku heran, mengapa nama belakangku sama dengan nama belakang ibuku, bukan ayahku.

Katanya, “Biasanya nama anak mengikuti nama ayahnya, seperti Miko Sirait yang bersuku Batak, ayahnya bernama Tegar Sirait. Ada juga anak yang tidak menggunakan nama keluarga. Namaku, Anin Prasetyani, berbeda sama sekali dengan nama orang tuaku. Aku heran, kok nama belakangmu mengikuti nama ibumu?”

Iya juga, ya. Selama ini aku tidak memikirkannya. Pertanyaan Anin membuatku penasaran.

Di rumah, meluncurlah pertanyaanku, “Bu, mengapa aku memakai nama Chaniago, bukan nama Jambak seperti nama Ayah?” Ibu tertegun sejenak, tetapi segera berbicara dengan penuh semangat. Kebudayaan Minangkabau terkenal dengan sistem matrilineal, yaitu menetapkan garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Jadi, marga anak akan mengikuti marga ibu. Budaya ini sudah lama berlangsung dan masih bertahan hingga kini.

Bagi orang Minangkabau, garis keturunan erat sekali hubungannya dengan adatnya. Perempuan dewasa atau ibu memiliki kedudukan yang tinggi dan menjadi lambang kehormatan keluarga. Ibu juga memiliki peran krusial dalam mengambil keputusan dalam keluarga.

“Wah, anak Ibu dua-duanya laki-laki. Ibu tak punya penerus keturunan.  Apakah marga Chaniago bakal lenyap?” tanyaku.
Gadang
“Perempuan bermarga Chaniago bukan hanya Ibu, Arifin,” sahut Ibu sambil tertawa.

Benar juga. Ibu memiliki beberapa sepupu perempuan dan sejumlah kerabat jauh.

“Ibu tidak menyesal tidak punya anak perempuan?” aku menggodanya. Ibu tersenyum dan melanjutkan pembicaraannya tentang masyarakat Minangkabau. “Garis keturunan dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi inti dari sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau ini adalah paruik. Setelah Islam masuk ke Minangkabau, istilah ini disebut kaum.”

“Dahulu, mereka tinggal dalam sebuah rumah gadang yang bisa didiami oleh banyak orang. Ikatan batin sesama anggota kaum ini kuat sekali. Mereka bersama-sama menjaga kehormatan kaumnya dengan semboyan orang sekaum sehina semalu. Anggota yang melanggar adat akan mencemarkan nama seluruh anggota kaum. Karenanya, seluruh anggota selalu diajak menjaga kehormatan dan tidak menyimpang dari peraturan.

Para perempuan yang sudah dewasa selalu mengawasi rumah gadangnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.” kata Ibu lagi.

“Masih penasaran?” tanya Ibu. 

Aku menjawabnya dengan pelukan. Sebagian penjelasan Ibu tidak kupahami. Belasan tahun hidup bersama Ibu, aku hanya tahu bahwa dendeng balado buatannya enak. Aku baru tahu bahwa Ibu sangat mencintai budayanya, walau dia sudah merantau jauh dari kampung halaman. Ibu bahkan menyematkan nama marganya pada namaku dan nama adikku, walaupun kebiasaan tersebut tidak dilakukan oleh semua orang Minangkabau.

Catatan : 
Paruik
Susunan masyarakat Minangkabau terkecil disebut ‘’Paruik”. Jika di-Indonesiakan secara harfiah artinya  “Perut”. Yang dimaksud paruik di sini adalah suatu keluarga besar atau famili, yang semua anggota keluarganya berasal dari satu perut.

Setelah kalian selesai membaca teks “Nama Keluarga”, buatlah kelompok diskusi terdiri atas 3—5 orang dan bahaslah pertanyaan berikut ini. 
1. Siapa nama tokoh “aku”?
Tokoh Aku adalah seorang anak laki-laki bermarga Chaniago
2. Mengapa tokoh menggunakan nama belakang ibunya, bukan nama belakang ayahnya? 
Karena ibu si tokoh adalah orang Minangkau yang menganut sistem matrilineal, yaitu menetapkan garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Jadi, marga anak akan mengikuti marga ibu.
3. Sebaiknya setiap anak mencantumkan nama keluarganya. Apakah kalian setuju?
 □ Setuju □ Tidak Setuju 
Saya tidak setuju. Alasan: Tak semua lapisan masyarakat memiliki tradisi mencantumkan nama keluarga pada anaknya. Setiap orang tua berhak mencantumkan nama keluarga atau tidak kepada anaknya.
4.Berdasarkan pemahaman kalian terhadap bacaan, jelaskan dengan singkat makna dari sistem kekerabatan matrilineal. 
Sistem kekerabatan matrilineal adalah sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan ibu. Dalam sistem ini, marga anak akan mengikuti marga ibu. Salah satu contohnya adalah sistem yang dianut oleh suku Minangkabau.

5. Menurut kalian, apa pesan yang hendak disampaikan penulis cerita “Nama Keluarga”?
Menurut saya pesan yang ingin disampaikan penulis adalah pentingnya menjaga tradisi dari tempat kita berasal dan menghargai perbedaan yang dimiliki orang dari tradisi lain.

Demikian pembahasan mengenai Memahami Teks “Nama Keluarga”. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Sumber : Buku Bahasa Indonesia Kelas IX Kurikulum Merdeka, Kemendikbud
Posted by Nanang_Ajim
Mikirbae.com Updated at: 6:03 PM

0 komentar:

Post a Comment

Mohon tidak memasukan link aktif.